Text
Babad mangkubumi
Buku dengan judul: Babad Mangkubumi bagian II atau bagian terakhir, menurut keterangan yang tertera pada halaman pertama dalam buku ini, sebenarnya merupakan lanjutan dari buku yang berjudul: Babad Nitik Ngayogya. Buku tersebut ter-akhir ini merupakan milik keraton Yogyakarta dan menceritakan peristiwa pemisahan Kangjeng Pangeran Mangkubumi dari kerajaan Surakarta, perlawanannya terhadap Surakarta dan pemerintah Hindia Belanda, sampai akhirnya bertahta sebagai Kangjeng Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta.
Jadi mulai saat itu, yang menurut sejarah terjadi pada tahun 1755 setelah diadakan perdamaian di Gianti, di Jawa terdapat dua kerajaan: Surakarta di bawah Kangjeng Susuhunan Paku-buwono dan Yogyakarta di bawah Kangjeng Sultan Hameng-kubowono. Dua tahun kemudian wilayah Surakarta dibagi lagi menjadi dua bagian, yang sebagian tetap di bawah pemerintahan Kangjeng Susuhunan Pakubuwono dan bagian yang lain di bawah pemerintahan Kangjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro.
Buku lanjutan Babad Nitik Ngayogya, yang diberi judul Babad Mangkubumi bagian ke-II atau yang terakhir ini, menurut keterangan pada halaman pertama tersebut di atas, ditulis oleh "orang Yogyakarta" dan induk gubahannya adalah pinjaman dari: Raden Mas Aryo Purwodiningrat, seorang "bupati-sisi-kanan" di keraton Yogyakarta.
Buku bagian II ini dimulai setelah putra Sri Sultan Hameng-kubowono I, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono II, menjadi sultan di Yogyakarta. Tulisan ceritanya tidak berbentuk "tembang macapat" seperti halnya dengan babad-babad yang lain, misalnya Babad Untung Surapati, Babad Kartasura, Babad Pacina, melain-kan dalam bentuk "gancaran", bentuk prosa yang menceritakan sesuatu.
Sebagai suatu Babad, sudah barang tentu buku ini tidak berpretensi sebagai buku Sejarah, yang penulisannya dilakukan secara ilmiah. Penulisan babad pada umumnya sering masih ter-campur dengan pendapat, penilaian, sikap, serta jenis pengabdian penulisnya, jadi sering masih bersifat "subyektif". Namun bahkan juga buku yang dianggap sebagai buku sejarah, semua juga mengetahui, itu pun juga tidak luput dari subyek tivitas para penyusunnya, tergantung dari pihak mana penulis memandang rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sejarah yang disusunnya itu.
Akan tetapi dengan segala kesubyektifannya, buku babad pada umumnya, termasuk buku Babad Mangkubumi atau Babad Nitik ini, sangat menarik untuk dibaca dan diperhatikan. Penilaian-nya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi memang telah dikatakan "subyektif", namun bagaimana pun juga fakta-faktanya tetap merupakan fakta-fakta yang tidak dapat diingkari atau disembunyi-sembunyikan demikian saja. Akibat-akibatnya pun te-tap pula merupakan fakta-fakta yang tidak dapat dihilangkan, walaupun halnya kemudian merugikan.
Pribadi tokoh-tokoh yang diceritakan dalam babad ini, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono II yang kemudian disebut Sultan Sepuh, Pangeran Adipati yang kemudian dinobatkan men-jadi Sultan Hamengkubuwono III atau yang juga disebut Sultan Raja, Pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi Kangjeng Pangeran Pakualam, Kangjeng Pangeran Mangkunegoro II atau yang disebut juga Kangjeng Pangeran Aryo Prangwadono, Patih Danurejo, dan lain-lain, dalam buku babad ini mungkin ditinjau dari suatu pihak atau pandangan tertentu. Tetapi walaupun demikian, menilik peristiwa-peristiwa yang terjadi karena sikap dan pribadi para pelakunya, jelaslah kiranya bagi kita meskipun ini kemungkinan besar juga masih "subyektif pula apa yang menjadi fakta-fakta sejarah dalam rangkaian peristiwa tersebut.
Segala macam dan bentuk intrik di dalam keraton maupun di luar istana, yang kalau pelakunya terdesak, lalu minta bantuan dari pihak luar yang digambarkan dengan jelas bagaimana per-hitungan mereka itu mengenai untung-rugi dalam memberikan bantuan, itu terang sangat merugikan bagi keutuhan dan kekuatan negara. Pamrih-pamrih tertentu untuk menguntungkan diri pribadi atau kelompoknya, sudah jelas tidak menguntungkan negara,
masyarakat serta rakyat banyak. Lebih-lebih karena tokoh-tokoh yang tersebut di dalam babad ini adalah orang-orang besar yang tindakan serta perbuatannya dapat sangat mempengaruhi jalan se-jarah negaranya. Dan akibat kesemuanya itu yang akhirnya meme-cah belah serta meruntuhkan kekuatan negara, kiranya baik untuk dihayati dan dijadikan cermin dalam tindakan kita selanjutnya. Dari kerajaan Sultan Agung yang meliputi seluruh Jawa pada permulaan abad ke-17, setelah satu setengah abad sampai per-tengahan abad ke-18, karena "kelihaian orang asing" dan ketak-waspadaan "orang pribuminya", tinggal empat keping wilayah kecil kerajaan Jawa.
Dan dalam Indonesia merdeka sekarang yang meliputi seluruh bekas jajahan Hindia Belanda, kiranya sudah sepantasnya, cermin peristiwa sejarah itu digunakan untuk memawas diri dalam pem-bangunan negara demi kesejahteraan seluruh rakyatnya. Itulah yang kami anggap menarik dalam membaca buku babad seperti Babad Nitik ini.
Tidak tersedia versi lain